Rabu, 10 Juni 2009

Berbikini pun Tak Langgar UU Pornografi

Berbikini pun Tak Langgar UU Pornografi

Judul Buku : Kenapa Berbikini Tak Langgar UU Pornografi
Penulis : Zubairi Hasan
Penerbit : Ka-tulis-tiwa Press (Desember 2008)
Tebal : 148 halaman
Distributor : Toko Buku Gramedia

Sejak Senin, 23 Maret 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan perkara uji materi UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sebenarnya jika membaca secara jernih, maka pihak-pihak yang sejak semula menolak UU Pornografi seharusnya berbalik arah menjadi pendukung utama UU ini. Mudah-mudahan tidak sebaliknya, pihak-pihak yang mula-mula mendukung UU Pornografi menjadi menolaknya. Hal ini terjadi karena UU Pornografi menjunjung tinggi privasi setiap warga negara, keragaman budaya, serta hanya memerangi industri pornografi.

Privasi Warga Negara
UU Pornografi tidak mengekang kebebasan perseorangan dalam berpakaian. Satu-satunya pasal yang mengatur cara seseorang berpakaian dalam UU Pornografi adalah Pasal 10 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.” Larangan yang berkaitan dengan cara berpakaian seseorang dalam pasal di atas adalah ketelanjangan yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak menggunakan penutup tubuh sama sekali. Jadi, masyarakat Indonesia tetap bebas mengunakan pakaian minimalis, selama tidak telanjang bulat.
Perlu dijelaskan di sini, bahwa ketentuan dalam Pasal 10 UU Pornografi berbeda secara redaksional dengan Pasal 4 ayat (1) huruf (d) UU Pornografi yang mengatur tentang hal-hal yang menjadi muatan pornografi dalam grafis dan tarian (gerak tubuh). Jadi, isi Pasal 4 ayat (1) huruf (d). ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan hanya mengatur muatan pornografi dalam gambar, gerak tubuh, audio-video, dan lain sebagainya. Sebagai informasi, dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (d) ada kata “ketelanjangan” dan kalimat “tampilan yang mengesankan ketelanjangan”, sedangkan dalam Pasal 10 hanya ada kata “ketelanjangan” dan tidak ada kalimat “tampilan yang mengesankan ketelanjangan”.
Kalaupun Pasal 4 ayat (1) dianggap mengatur cara seseorang berpakaian, dengan alasan dalam definisi pornografi terdapat gerak tubuh (yang dengan agak terpaksa diartikan sebagai cara seseorang berpakaian dan mengekspresikannya di muka umum), maka orang yang berbikini juga tidak masuk dalam “tampilan yang mengesankan ketelanjangan,” selama tidak menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Penjelasan dari Pasal 4 ayat (1) huruf (d) berbunyi: “Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.”
Dengan begitu, seseorang yang berbikini, lalu berjalan-jalan di mal tidak termasuk melanggar UU Pornografi, karena dengan berbikini seseorang tidak dapat dikatakan telanjang. Hal ini tentu berbeda, ketika dalam definisi pornografi ada kalimat “yang membangkitkan hasrat seksual”, maka seseorang dengan berbikini dianggap melanggar UU Pornografi, karena secara logis berbikini dapat membangkitkan hasrat seksual. Setelah kalimat “yang membangkitkan hasrat seksual” dihapus, maka berbikini tidak dianggap melanggar UU Pornografi.
Dalam soal pakaian minimalis, seperti bikini, dalam UU Pornografi terdapat empat macam ketentuan, yaitu: Pertama, pakaian minimalis dalam konteks perseorangan sebagaimana sudah dijelaskan di atas.
Kedua, pakaian minimalis karena seni dan budaya, adat istiadat, atau ritual keagamaan. Pakaian minimalis seperti ini tidak dapat dijerat dengan pidana pornografi. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf (b) UU Pornografi bahwa melestarikan seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan merupakan salah satu tujuan dari UU Pornografi.
Ketiga, pakaian minimalis karena tuntutan pekerjaan, seperti menjadi model bikini. Pakaian minimalis seperti ini juga tidak dapat dijerat dengan pidana pornogafi, selama pembuatan gambar atau adegan dengan model berbikini, serta penyebarluasan hasilnya dilakukan di tempat khusus dengan cara khusus. Maksud tempat khusus adalah penempatan yang tidak dapat dijangkau anak-anak. Sedangkan maksud cara khusus adalah pengemasan yang tidak menampilkan pornografi (Pasal 13 ayat 1-2 UU Pornografi dan penjelasannya).
Keempat, pakaian minimalis sebagai bagian dari sebuah jasa yang berhubungan dengan kegiatan seksual. Pakaian minimalis seperti ini dapat melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf (c) UU Pornografi bahwa “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: (c) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual.” Pengertian seksual dalam KBBI adalah hal yang berhubungan dengan persetubuhan atau persetubuhan itu sendiri. Pakaian minimalis sebagai bagian dari jasa seksual dapat dimasukkan dalam kategori “hal yang berhubungan dengan persetubuhan.”

Memerangi Industri Pornografi
Karena tidak menyentuh ranah privat, UU Pornografi hanya memerangi industri pornografi dan jasa pornografi, baik yang dijalankan perseorangan maupun korporasi yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Kesimpulan itu berpijak pada beberapa alasan, yaitu:
Pertama, salah satu pasal penting, kalau tidak dikatakan terpenting dari UU Pornografi adalah Pasal 4 yang berisi cakupan dan muatan pornografi yang dilarang. Dalam mengulas larangan di atas, Pasal 4 UU Pornografi menggunakan bahasa-bahasa yang dipakai oleh industri, seperti memproduksi, ekspor-impor, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, berikut bunyi lengkap Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.”
Kedua, dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi memang ada kata “membuat” yang berkonotosi dilakukan perseorangan. Namun, ternyata pengertian “membuat” di sini untuk orang lain, seperti halnya industri, bukan untuk diri sendiri. Karena itu, orang yang membuat produk pornografi untuk diri sendiri tidak bisa dijerat dengan pidana pornografi. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi mengatakan: “Yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri”
Ketiga, sesuai dengan Pasal 3 huruf (e) UU Pornografi, tujuan dari UU ini adalah “mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di kalangan masyarakat”. Kata-kata “berkembang” dan “komersialisasi” merupakan kata penting bagi industri, karena berkaitan dengan pemasukan bagi industri. Nah, UU ini secara tegas menyatakan akan berupaya memerangi sumber pemasukan industri seks dan industri pornografi.
Keempat, perseorangan yang tidak terkait dengan industri pornografi baru terkena jeratan pidana pornografi, jika bertindak selayaknya industri atau korporasi, yakni memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengakses sebuah produk pornografi, seperti meminjamkan produk pornografi (Pasal 5 UU Pornografi) atau memfasilitasi perbuatan pidana pornografi (Pasal 7 UU Pornografi).
Kelima, sebagai bukti bahwa UU Pornografi tidak memerangi warga negara secara perseorangan, maka UU Pornografi memberikan pengecualian yang tegas bahwa perseorangan dapat membuat produk pornografi untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri (Penjelasan Pasal 4 ayat 1). UU Pornografi juga memberikan pengecualian bahwa perseorangan dibolehkan menyimpan dan memiliki produk pornografi untuk dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri (Alinea Pertama Penjelasan Pasal 6 UU Pornografi).
Keenam, karena bermaksud memerangi industri pornografi, maka UU Pornografi mengatur secara rinci mengenai tindakan pidana yang dilakukan korporasi, atau kepada pengurusnya (Pasal 40 ayat (1) sampai ayat (7) UU Pornografi).
Ketujuh, sebagai bentuk perang terhadap industri pornografi, maka UU Pornografi memberikan sanksi pidana tiga kali yang lebih berat kepada korporasi (Pasal 40 ayat 7). Di samping mendapatkan pidana pokok, korporasi yang mengembangkan industri pornografi juga dikenakan pidana tambahan lain berupa: a. pembekuan izin usaha; b. pencabutan izin usaha; c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. pencabutan status badan hukum (Pasal 41).”
Melihat kesimpulan di atas, maka sebenarnya kita tidak perlu takut dengan UU Pornografi, apalagi menghubungkannya dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar